PSI pun tidak dianggap dan diremehkan, parpol kecil yang dianggap cuma jadi kerikil di dalam sepatu. Bahkan menurut informasi ordal, PSI sempat mau “dimatikan” oleh “oknum” pada saat verifikasi faktual sebagai prasyarat peserta pemilu 2024.
Tapi peta politik berubah dengan cepat akibat perilaku politik elit PDIP sendiri. Perbedaan pandangan dan strategi politik antara Megawati versus Jokowi nampaknya menjadi alasan “retak”nya hubungan keduanya.
Singkat cerita, Megawati merasa PDIP sebagai partai penguasa ingin meng-hegemoni papan catur perpolitikan nasional. Sedangkan Jokowi ingin mengakomodasi kekuatan-kekuatan riil politik yang ada di kancah. Sebisa mungkin terjalin “kerja sama” politik untuk meneruskan program pembangunan yang sudah dan sedang berjalan.
Berkali-kali Jokowi menekankan pentingnya kesadaran bersama tentang “window-of-opportunity” Indonesia yang terbuka di tiga masa kepemimpinan ke depan. Jangan sampai jendela kesempatan itu terbuang percuma gegara ambisi primordialistik.
BACA JUGA : Ada yang Gentar dan Ketakutan dengan Bacawapres “Bocil Alias Anak Ingusan”. Memalukan!
Perjalanan menuju (sampai terjadinya) konstelasi politik “Prabowo-Gibran” bukanlah cerita yang sederhana. Ini adalah resultan dari tegangan berbagai aras kepentingan hasil negosiasi elit perpolitikan negeri.
Perbincangan seputar wacana “Prabowo-Ganjar” di tengah sawah habis dipatuk burung liar. Lalu wacana “Prabowo-MrX” (Erick atau Airlangga atau Zulhas atau mungkin Cak Imin waktu itu pun pupus). Sampai akhirnya konsensus disepakatilah Gibran yang bisa mempersatukan.
Yang ingin disampaikan, dari sejak awal Jokowi ingin mempersatukan kekuatan riil yang ada demi keberlanjutan pembangunan. Tapi partner separtainya kok malah menolak dan melepeh kekuatan riil yang eksis di blantika politik nasional? Ada ada dengan PDIP?
Eksplorasi konten lain dari Radar Nusantara
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.