Jokowi belajar soal ini dalam lima tahun masa pemerintahannya yang pertama. Tak mau terulang lagi di lima tahun kedua, ia terus merajut koalisi besar itu. Konsisten dan persisten.
Konstitusi membatasi dua termin, sehingga sebagai negarawan yang punya cita-cita (visi) besar Indonesia Emas, ia terus merajut. Prabowo dan Ganjar seyogianya bersatu, tapi ego primordialistik sementara pihak mengganjal hasrat itu.
Show of force yang sebetulnya tidak perlu pun dilakukan, misalnya “proyek menggagalkan piala dunia U20”. Berbagai manuver politik kita alami sampai akhirnya sekarang menjelang hari pencoblosan. Manuver terakhir adalah meluncurkan film propaganda “Dirty Vote”.
Mereka lupa bahwa pada awalnya Gibran tak ada dalam skenario koalisi besar. Gibran mesti masuk pentas lantaran figur inilah yang bisa mempertahankan koalisi besar. Kompromi.
Koalisi besar atau gotong-royong membawa Indonesia menuju era keemasannya.
BACA JUGA : Serangan Membabi-buta dari Ahok: Jokowi dan Gibran Tidak Bisa Kerja?
Etika politiknya jadi ala Bung Karno, rawe-rawe rantas malang-malang putung – apa saja yang merintangi maksud dan tujuan harus disingkirkan. Apa boleh buat.
Secara harafiah artinya adalah tanaman yang menjulur-julur harus dibabat sampai habis dan yang menghalang-halangi jalan harus dipatahkan. Reputasi pun dipertaruhkan.
Rintangan datang dari dalam negeri maupun dari luar negeri, dari negara-negara asing yang terkena dampak program hilirisasi.
Tapi ingat, kesempatan emas kita ada di tiga masa kepemimpinan kedepan. Manfaatkan, atau tetap berkubang dalam jebakan “middle-income trap” itu.
Eksplorasi konten lain dari Radar Nusantara
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
3 Komentar