Home / Radar Terkini / How Democratic Constitutionalism Die? Jalan Terjal Mahkamah Konstitusi di Tahun 2024

How Democratic Constitutionalism Die? Jalan Terjal Mahkamah Konstitusi di Tahun 2024

How Democratic Constitutionalism Die? Jalan Terjal Mahkamah Konstitusi di Tahun 2024

Penafsiran kompetensi Yurisdiksi MK dalam arti luas artinya MK tidak sekedar the guardian of constitution dan the interpreter of constitution melainkan juga safeguard constitution yang harus membangun elektoral justice system. Penafsiran PHPU tidak sekedar normaitf positivistic namun melalui metode tafsir normologic empiric dialectic.

MK sebaiknya mengoptimalisasi peran 8 Hakim MK untuk melakukan balancing probable (keseimbangan peluang) antara rechtstopassing (penerapan hukum keadilan prosedural) norma dengan rechtsvinding (penemuan hukum) kebenaran substansial hukum dengan spirit “living constitution” agar demokrasi dan konstitusi selalu dinamis (konstitualism).

Interpretasi Gramatikal dan Asas Yuridikitas Rechmatingheid
Sebagaimana postulat hukum primo executienda est verbis vis, ne sermonis vitio obstruatur oratio, sive lex sine argumentis, perkataan adalah hal pertama yang diperiksa untuk mencegah adanya kesalahan pengertian atau kekeliruan dalam menemukan hukum (rechtsvinding). Untuk itu, dalam interpretasi harus pertama-tama dilakukan dengan cara menguraikannya menurut bahasa secara umum (interpretasi gramatikal).

Apabila kita melihat secara gramatikal berdasarkan Pasal 24 C Jo. Pasal 74 dan 75 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi diketahui bahwa Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden, paslon dapat mengajukan keberatan kepada MK dalam waktu paling lama tiga hari setelah penetapan hasil pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Keberatan sebagaimana dimaksud hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada pemilu presiden dan wakil presiden. Frasa hanya terhadap hasil penghitungan suara bermakna adalah pembatasan dan itu qath’i, tetap, diksi hanya merupakan kata kunci pembatasan.

Kewenangan MK dalam memutus PHPU khususnya pemilihan Presiden dan wakil presiden, berdasar pada dua hal pokok, yaitu apakah MK akan melihat penetapan hasil perolehan suara yang ditetapkan KPU sudah sesuai dan sah serta apakah dalam penetapan hasil perolehan suara tersebut terhadap terdapat hal yang tidak sesuai dengan yang diajukan para Pemohon, maka Mahkamah akan mengambil putusan sendiri berkaitan dengan penetapan hasil perolehan suara tersebut. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kewenangan Mahkamah adalah sebatas hasil perhitungan suara dan tidak ada interpretasi lain.

BACA JUGA : Daftar 12 Panelis Debat Kelima Pilpres 2024 Malam Ini

Jika Mahkamah dalam konteks ini melakukan judicial activism dengan memaksakan untuk mengadili hal yang di luar wewenangnya sejatinya hal tersebut telah bertentangan dengan asas yuridikitas rechmatingheid yang menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh memutus sesuatu yang berada di luar kewenangannya.

Dalam Permohonan, Pemohon banyak mendalilkan tentang permasalahan proses dalam PEMILU 2024. Perlu dipahami bersama bahwa persoalan sengketa ihwal keabsahan pencalonan Calon Wakil Presiden Gibran Rakabumingraka sejatinya bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi melainkan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dalam kasus ini Pemohon yang sejak ditetapkannya Gibran sebagai Calon Wakil Presiden tidak mengajukan gugatan harus dianggap telah melepaskan hak nya (rechtsverwerking). Terlebih apabila persoalan tersebut didasari alasan bahwa KPU belum melakukan penyesuaian antara Peraturan KPU No.19 Tahun 2023 dengan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.

Hal tersebut sangat tidak beralasan sebab sebagaimana kita ketahui bersama Putusan MK memiliki kedudukan yang setara dengan undang-undang untuk itu berdasarkan asas preferensi lex superior derogat lex inferiori, Peraturan KPU yang bertentangan dengan Putusan tersebut dengan sendirinya telah bersifat batal demi hukum.

Selain itu persoalan soaldugaan adanya nepotisme yang dalam hal ini dianggap sebagai pelanggaran yang Terstruktur Sistematis dan Masif (TSM) oleh Presiden juga tidak dapat diajukan di Mahkamah Konstitusi (berdasarkan sistem hukum kita Nepotisme diatur dalam UndangUndang N0. 28/1999 tentang Korupsi Kolusi Nepotisme). Apabila alasan di atas dipaksakan kiranya hal tersebut akan bertentangan dengan asas legalitas yang merupakan buah dari pejuang demokrasi itu sendiri.

Lanjut Baca Ke Halaman 4


Eksplorasi konten lain dari Radar Nusantara

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Halaman: 1 2 3 4

Tag:

Tinggalkan Balasan

Iklan
Iklan

Eksplorasi konten lain dari Radar Nusantara

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca