Pertama, pertimbangan strategis. Jika bukan kalangan terpelajar yang saat ditargetkan untuk dimenangkan oleh pasangan capres itu, maka dengan sendirinya undangan perdebatan capres dan cawapres itu tak perlu dipenuhi.
Debat capres/cawapres diminati lebih oleh kalangan terpelajar, yang jumlahnya 10 persen saja dari populasi pemilih. Sementara populasi pemilih wong cilik tak menikmati debat capres/cawapres. Padahal jumlah populasi wong cilik ini lima kali lebih besar ketimbang kalangan terpelajar.
Waktu yang ada lebih baik digunakan untuk datang ke kelompok yang lebih ditargetkan. Misalnya, Gibran Rakabuming Raka lebih baik menghabiskan waktunya untuk berjumpa blusukan dengan pemilih di kantong-kantong wong cilik, ketimbang misalnya hadir dalam debat capres/cawapres.
Berita Lainnya
Wong cilik itu segmen yang lebih besar, yang lebih strategis dan efektif dijangkau oleh Gibran. Kelebihan Gibran ada pada pendekatannya yang otentik pada wong cilik ini, bukan pada wacana dan debat gagasan.
Bukankah suara 1 profesor dalam kotak suara memiliki nilai yang sama dengan suara 1 petani tamatan SD?
BACA JUGA : Isu IKN Dalam Pemilihan Presiden 2024
Kedua, pertimbangan hadir atau absen dalam debat capres/cawapres adalah menghindari resiko penurunan dukungan elektabilitas. Acapkali kali ini terjadi di banyak negara.
Pasangan capres atau cawapres yang sudah sangat populer sekali sebagai front runner, memimpin sementara dukungan publik berdasarkan survei yang kredibel, mereka justru menghindari hadir dalam perdebatan yang bukan dilakukan oleh lembaga resmi, sejenis KPU.
Dalam perdebatan capres/cawapres yang cepat, selalu mungkin salah ucap, tak siap menjawab serangan yang tak terduga, terpancing emosi, dan lain sebagainya.