Radar Nusantara, Surabaya – Terdakwa Effendi Pudjihartono diuntungkan dalam keterangan dari dua orang saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Gilang dan Siska Christina pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya.
Hal itu disampaikan penasehat hukum terdakwa bernama Dibyo Aries Sandi usai sidang pada Senin (17/2).
Menurut Dibyo, keterangan saksi Moch Zainal Abidin dan Novenda bisa menggugurkan dakwaan JPU.
Berita Lainnya
“Dalam dakwaan kerugian biaya renovasi adalah Rp 353 juta, namun terungkap fakta dalam persidangan Rp 169 juta. Dari Rp 169 juta, dalam BAP saksi hanya terdapat surat penawaran senilai Rp 8 juta yang dibayar 2 kali,” lanjutnya.
“Dalam pembelian elektronik, tertulis 12 invoice total harga Rp 69 juta, namun tidak semuanya dikirim ke Sangria, ada yang dikirim ke restoran lain yang dikelola Ellen Sulistyo,” ujarnya.
Dibyo juga menerangkan dari 12 invoice ditemukan ada 2 invoice milik resto selain Sangria, selain itu ditemukan fakta ada 1 invoice senilai Rp 9 juta yang macet (belum terbayar).
“Semua pembelian Ellen di toko Perdana dari sekitar 5 resto yang dikelola oleh Ellen Sulistyo. Semua pembayarannya bukan berasal dari rekening masing-masing resto tersebut, tapi dari rekening yang sama atas nama Ellen Sulistyo,” ujar Dibyo.
Dari keterangan dua saksi pada sidang hari itu dan saksi sebelumnya, Dibyo berharap pengajuan penangguhan penahanan kliennya dikabulkan majelis hakim.
Terdakwa pada akhir sidang juga menyampaikan agar majelis hakim bisa bertindak adil berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa untuk memberikan penangguhan penahanan padanya.
Adapun dasar terdakwa memohon penangguhan penahananya dikabulkan antara lain adalah pertama, terdakwa sejak ditahan di Polrestabes dalam keadaan sakit, dan sampai saat ini masih lemah, dan mengeluarkan darah ketika kencing.
Kedua, terdakwa tidak bisa mengumpulkan data-data terkait pembelaan dirinya, karena ditahan di rutan.
Ketiga, terdakwa adalah pemilik perusahaan dengan ratusan karyawan yang mengalami kesulitan ketika terdakwa ditahan selama lebih dari 4 bulan ini.
Keempat, terdakwa adalah kepala keluarga yang harus menghidupi anak dan istrinya.
Kelima, terdakwa tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan selalu kooperatif dalam persidangan.
Terdakwa juga menyampaikan, keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa bukan hanya melakukan apa yang benar, namun juga tidak menyalahkan apa yang benar.
“Hakim sebagai wakil Tuhan harus berani bertindak untuk membela kebenaran,” ujar terdakwa.
Terkait pengajuan penangguhan penahanan, Dibyo berujar sudah menyerahkan kelengkapan surat-surat yang diperlukan.
“Kita sudah serahkan surat penangguhan penahanan, jaminan, lampiran kesehatan sudah kami serahkan,” ujar Dibyo.
Perlu diketahui, JPU menuntut terdakwa pemilik Restoran Sangria by Pianoza atas laporan Ellen Sulistyo pengelola restoran milik terdakwa.
Terdakwa didakwa pasal 266 ayat (1) KUHP memberi keterangan palsu dalam akta otentik dan atau pasal 378 KUHP tentang penipuan yang diduga merugikan Ellen sebesar Rp 998.244.418,- terdiri dari uang di transfer ke terdakwa Rp 330.000.000,- biaya renovasi Rp 353.373.000,- dan biaya pembukaan Rp 314.870.518,-.
Dari keterangan saksi Novenda dalam sidang, terungkap bahwa biaya renovasi adalah Rp 169 juta, fakta ini semakin membingungkan karena nilai renovasi ini berbeda dengan dakwaan Jaksa maupun keterangan saksi Dwi dan Ellen Sulistyo pada sidang lalu. Sebenarnya keterangan siapa yang bisa dipercaya?.
Perkara ini menarik di perhatikan, karena sebelumya ada gugatan wanprestasi di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dengan putusan N.O.
CV Kraton Resto pemilik Restoran Sangria by Pianoza mempunyai Direktur bernama Fifie dan Komisaris bernama Effendi (terdakwa saat ini).
Direktur CV Kraton Resto menggugat Ellen Sulistyo karena tidak memenuhi perjanjian pengelolaan nomor 12 tanggal 27 Juli 2023.
Salah satu yang tidak dipenuhi adalah tidak membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), tidak pernah memberikan laporan keuangan dan pembagian keuntungan sesuai yang di janjikan.
Ditengah jalannya persidangan, Ellen melaporkan terdakwa memberikan keterangan palsu dalam akta otentik (perjanjian pengelolaan) dalam keterangan jabatan sebagai direktur, padahal terdakwa sebenarnya adalah Komisaris.
Dan juga terdakwa dituduh mengakui menguasai selama 30 tahun tanah atau Barang Milik Negara (BMN) yang dikelola Kodam V/Brawijaya.
Ditilik dari persidangan gugatan wanprestasi tahun lalu, dalam kesaksian Notaris Ferry Gunawan, penempatan direktur sebenarnya ada surat kuasa dari direktur untuk terdakwa bisa bertindak sebagai direktur, dan Notaris juga menyampaikan terdakwa tidak pernah mengaku sebagai Direktur.
Terkait penguasaan lahan selama 30 tahun, tertuang dalam MOU yang dilakukan antara Kodam V/ Brawijaya dengan terdakwa pada tahun 2017 dengan 6 periodesasi, dalam 1 periodesasi jangka waktunya 5 tahun.
Dan hal itu juga susah diakui oleh saksi Mayor Agus Budi dari Kodam pada sidang sebelumnya, bahwa memang ada 2 perjanjian antara Kodam dengan CV. Kraton Resto.
Dari MOU itu dan adanya SPK, terdakwa membangun restoran the Pianoza (Sangria by Pianoza) menghabiskan anggaran Rp 10 miliar lebih.
Dalam pengelolaan restoran the Pianoza terjadi perjanjian pengelolaan dengan Ellen Sulistyo dan restoran berubah nama menjadi Sangria by Pianoza.
Menginjak pariodesasi kedua, terdakwa “dianggap” tidak membayar PNBP ke Kodam, dan tidak bersedia menghibahkan bangunan yang dibangunnya ke Kodam, sehingga Kodam menyegel bangunan restoran tersebut.
Dalam sidang sebelumnya, KPKNL melalui Murti telah menyampaikan bahwa mereka telah menerbitkan persetujuan PNBP untuk periode ke II pada tanggal 28 April 2023.
Namun hal tersebut sesuai pengakuan Mayor Agus Budi tidak disampaikan ke CV. Kraton Resto, dan walaupun terdakwa telah memberikan jaminan emas senilai Rp 625 juta pada tanggal 11 Mei 2023, akan tetapi Kodam tetap menyegel resto secara sepihak tanpa 3 kali peringatan seperti yang diamanatkan dalam SPK/05/XI/2017.
Dan bahkan surat pengawasan KPKNL tanggal 12 Juli 2023 yang menanyakan tentang tindak lanjut persetujuan tersebut, tidak di respon oleh Kodam. Hal ini menimbulkan pertanyaan, ada apa sebenarnya?.
Terdakwa yang membangun gedung restoran menghabiskan anggaran Rp 10 miliar, omset restoran diperkirakan terdakwa Rp 3 miliar masuk di rekening bank Mandiri atas nama Ellen Sulistyo, ironis nya malah dirinya masuk penjara, hal itu membuat terdakwa merasa dikriminalisasi.
Dari pantauan media, nampak staf Kumdam V/Brawijaya mendampingi saksi dari Ellen Sulistyo sedang berbincang dengan JPU Siska, entah apa yang dibicarakan, mengingat sebenarnya Kodam tidak memiliki hubungan hukum dengan Ellen Sulistyo.
Ketika hal ini di konfirmasi pada terdakwa, ia hanya menjawab singkat, “Saya yakin Kodam V/Brawijaya adalah institusi militer yang terhormat. Saya yakin Kodam tidak akan melanggar norma hukum yang ada. Kalau ada kesan bahwa Kodam ‘membekingi’ Ellen, mungkin itu ‘oknum’ bukan Kodam.” pungkasnya. @redho fitriyadi